Pesta Adat Reba, kegiatan kebudayaan masyarakat
di Nusa Tenggara Timur yang diselenggarakan
dalam rangka menyambut pergantian tahun. Salah satu ciri khas dari festival
budaya ini adalah memakan ubi bersama-sama dengan diiringi tarian adat suku
bena bernama Besa Uwi.
Pesta Reba biasanya diselenggarakan pada bulan Desember
hingga Februari. Namun, puncak acara Pesta Reba akan diselenggarakan pada pertengahan
Januari, yakni pada tanggal 14-16 Januari di setiap tahunnya.
Reba adalah tahun baru dalam kalender etnis Ngada di
Kabupaten Ngada. Reba adalah pesta adat
terbesar, pesta syukur atas kasih kebaikan dan penyelenggaraan Tuhan (Dewa Zeta
Nitu Zale) yang dinikmati orang Ngada lewat hasil pertanian, peternakan, dan
lainnya.
Reba dirayakan setahun sekali pada bulan Januari atau Februari tergantung petunjuk 'kepo wesu' atau pemegang adat yang menentukan masa perayaannya. Dalam pesta Reba, rasa syukur manusia atas kebaikan Tuhan disimbolkan lewat Uwi (ubi tapi bukan singkong). Uwi diyakini roti kehidupan manusia pada masa 'in Illo tempore-nya' orang Ngada. Sehingga uwi dalam ritus Reba adalah simbol yang utama, yang diungkapkan secara puitis sebagai berikut:
"Uwi meze go lewa laba. Lobo wi so’i Dewa. Kabu nga role
nitu, ladu wai poso. Koba rako lizu. Uwi sedu peka rua wali. Kutu koe, dhano
ana ko'e. Sui moki, moki bhai moli".
Terjemahannya kira-kira begini: Ubi sebesar gong, sepanjang
gendang. Pucuk menjulang kepada Tuhan. Akar tertanam memeluk Dewa Bumi, kayu
penyangga setinggi gunung. Rambatnya mencapai langit. Ubi tetap bertumbuh
tunas. Meski digali babi landak, tetap selalu ada. Diserang babi hutan, juga
tak akan habis.
Seperti Uwi, makanan yang bertahan lama, Reba tidak punah.
Manusia pendukungnya tetap berkembang biak bersama alam lingkungan dan terus
menghidupi Reba, dari generasi ke generasi.
Yang menarik, Reba tidak saja menjadi kesempatan istimewa
bagi orang Ngada
untuk berkumpul dalam rumah adat masing-masing. Reba juga menjadi kesempatan
berahmat karena segala permusuhan, perselisihan dalam keluarga harus berakhir
saat itu juga.
Rangkaian Kegiatan Adat Reba
Sebelum upacara dihelat, Sehari sebelum perayaan, akan
dilaksanakan upacara pembukaan Reba (su`i uwi). Malamnya, warga melakukan acara
makan dan minum bersama (ka maki Reba) sembari menunggu pagi. Dan pada saat
pagi harinya, warga dijamu dengan disediakan makanan dan minuman (Ngeta kau bhagi
ngia, mami utu mogo).
Sebelum Upacara Adat Reba, warga melakukan upacara “o uwi”. O
uwi adalah kegiatan kesenian daerah berupa tari-tarian dan nyanyian yang
kemudian digelar misa inkulturasi di gereja pimpinan pater atau romo. Kegiatan
ini sebagai sebuah bentuk perpaduan adat tradisional dengan agama Katolik.
Upacara ini juga menyajikan koor nyanyian gereja dengan menggunakan bahasa
lokal daerah Ngada.
Di luar gereja, Peserta upacara dan penari akan disuguhi satu
dua gelas arak, dimana masyarakat menyebutnya dengan tua ara. Kegiatan adat
Reba bukan sekedar pesta hura-hura, tapi merupakan wujud kegembiraan masyarakat
dengan tetap menjaga nuansa rohani.
Upacara Adat Reba adalah salah satu bentuk rasa syukur
masyarakat Ngadha yang ditujukan bagi leluhurnya. Ubi menjadi hidangan utama
dalam upacara adat ini. Hal ini karena bagi masyarakat Ngada, ubi merupakan
sumber makanan yang tidak akan habis disediakan oleh bumi manusia. Sehingga,
dari sini diharapkan masyarakat Ngada tidak akan pernah mengalami rawan pangan.
Kata Reba jika dihubungkan dengan bahasa melayu memiliki
makna “ribut”, dan ribut berarti angin topan.
Mengikuti Upacara reba, anda akan mendapatkan pengalaman
melihat langsung atraksi tarian yang tarian tersebut berupa tarian yang
penarinya menggunakan pedang panjang yang digengggam dengan liukan “tuba” yaitu
tongkat berhias bulu kambing yang berwarna putih.
Pengiring penari akan menyajikan musik back sound dengan
menggunakan alat musik yang terbuat dari tempurung kelapa atau labu hutan. Alat
musik ini sangat unik karena wadah resonansinya ditutupi dengan kulit kambing
dan bagian tengahnya dilubangi. Penggeseknya adalah sebilah bambu yang diikat
dengan benang tenun dan digosok lilin.
Anda akan melihat beberapa desa tradisional yang secara jelas
menampilkan bongkahan batu-batu berdiri, hal ini seolah Anda sedang berada di
tengah-tengah masyarakat yang masih bertahan dari zaman batu. Masyarakat Ngada
juga mengenal istilah Ngadhu dan Bhaga. Ngadhu adalah perlambangan sosok
leluhur laki-laki, dan Bhaga adalah sosok leluhur perempuan. Ada salah satu
batu di kampong Bena, dimana batu berdiri yang dianggap sangat sakral yaitu
ture.
Comments
Post a Comment